Dua Oknum Polisi Diduga Melakukan Pemerasan Terhadap Pasangan Muda-Mudi Di Exit Tol Tambak Sumur
Kabar Surabaya - Di tengah persiapan perayaan Hari Bhayangkara ke-79, citra Kepolisian Republik Indonesia kembali diguncang. Sebuah insiden memalukan terungkap, ketika seorang mahasiswi dan temannya menjadi korban pemerasan oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindung rakyat—seorang oknum polisi aktif.
Kamis malam, 19 Juni 2025. Langit Sidoarjo mulai gelap, dan suasana mendingin usai hujan ringan mengguyur daerah Krian. Kirana Vanessya (23), mahasiswi tingkat akhir, dan temannya Rayhan baru saja pulang dari menghadiri sebuah acara pernikahan. Keduanya menyusuri jalan tol dengan tenang, hingga sebuah insiden kecil menghentikan laju mobil mereka: sebuah motor menyenggol kendaraan mereka saat keluar dari exit tol Tambak Sumur.
Tak ada yang terluka, hanya lecet kecil di bodi mobil. Permintaan maaf di antara pihak pun terjadi. Semestinya, malam itu berakhir biasa. Tapi takdir berkata lain.
Di bawah kolong tol, ketika Vanessya dan Rayhan hendak memeriksa kondisi mobil, dua sosok muncul dari kegelapan. Satu berseragam polisi, satu lagi berpakaian sipil. Dengan nada tegas namun mencurigakan, mereka mengaku tengah melakukan operasi gabungan melibatkan TNI, Polri, Satpol PP, dan wartawan. Sebuah dalih yang terdengar terlalu rumit untuk kejadian sesederhana itu.
Mereka menuduh, menekan, dan mengambil alih. Rayhan disuruh pindah ke kursi penumpang, Vanessya diminta duduk di belakang. Mobil mereka kini dikuasai oleh orang asing berseragam. Dalihnya: "Kita bawa ke Polda untuk klarifikasi." Namun, arah perjalanan justru berputar-putar di wilayah Surabaya, tanpa arah dan tujuan.
Di dalam mobil, ancaman berubah menjadi pemerasan. Kalimat-kalimat menggantung dilontarkan:
"Biar sama-sama enak."
"Saya bantu, tapi harus ada itikad baik."
"Kalau mau cepat selesai, siapkan uang 7 sampai 10 juta."
Vanessya dan Rayhan tak membawa uang sebanyak itu. Mereka hanya punya Rp650 ribu. Tapi itu belum cukup bagi sang oknum. Mobil pun diarahkan ke Indomaret Drive Thru di dekat Excelso A. Yani. Di sana, di bawah sorot lampu neon yang menyilaukan, Vanessya dipaksa menarik seluruh saldo ATM Rayhan. Kartu mereka disita. Si polisi ingin sisanya diserahkan keesokan harinya. Jam lima sore.
"Jangan buka HP. Hargai saya."
Permintaan yang terdengar seperti bukan dari aparat penegak hukum. Bahkan ketika Vanessya minta izin mengabari orangtuanya, ia malah dibentak.
Dan lebih buruknya lagi, oknum itu menyarankan agar mereka mencari pinjaman online—"Biar cepat." Ini bukan negosiasi. Ini pemerasan yang dibungkus seragam resmi.
Namun, di tengah tekanan, naluri perlawanan muncul. Dengan berani dan diam-diam, Vanessya mengangkat ponselnya, memotret wajah dan seragam oknum itu. Bukti yang kemudian menjadi senjata penting untuk mengungkap kebenaran.
Tepat tengah malam, setelah uang dan kartu ATM di tangan, sang oknum turun dari mobil. Pergi seperti bayangan malam, meninggalkan ketakutan dan trauma dalam kabin kendaraan itu.
Namun ia tidak menyadari satu hal: mereka sudah memiliki wajahnya.
Djumadi, ayah Vanessya, tak tinggal diam. Berbekal foto dan video dari anaknya, ia menggerakkan semua koneksi yang dimilikinya. Dalam waktu kurang dari 24 jam, identitas sang oknum terbongkar: Bripka H, masih aktif berdinas di wilayah Surabaya.
Laporan resmi pun dilayangkan ke Divisi Propam.
“Ini bukan hanya tentang anak saya. Ini soal martabat institusi. Tidak bisa dibiarkan,” tegas Djumadi.
Kini, sorotan publik tertuju pada institusi kepolisian. Akankah ini menjadi titik balik penegakan disiplin internal? Ataukah hanya akan menjadi noda baru dalam seragam yang seharusnya melindungi?
Hari Bhayangkara tinggal menghitung hari. Tapi bayang-bayang malam di Surabaya akan sulit terlupakan.
No comments:
Post a Comment