Kisah Dibalik Malam Satu Suro yang Setiap Tahunnya Diperingati Oleh Masyarakat
Kabar Surabaya - Malam ini semua masyarakat, khususnya bagi mereka yang beragama Muslim akan memperingati Malam Tahun Baru Islam. Pada tahun ini tahun baru Sslam/Hijriyah ini akan memasuki tahun yang ke 1442 H. Selain umat Muslim, pada malam nanti juga diperingati oleh kebanyakan masyarakat Jawa sebagai Malam Satu Suro.
Biasanya Malam Satu Suro ini selalu digambarkan dengan suasana mistis yang mencekam. Seperti halnya yang di visualkan didalam film-film horor, dimana Malam Satu Suro adalah malam yang sangat mencekam dengan kehadiran beragam mahluk halus.
Namun, bagaimanakah sejarah dari Malam Satu Suro ini berasal..?. Jika melihat dari sejarah yang ada, sebenarnya Malam Satu Suro ini sangat jauh dari hal-hal yang menyeramkan. Istilah Satu Suro atau dalam kalender islam disebut sebagai 1 Muharram ini telah dilakukan pada kepeminpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau dikenal sebagai pemimpin Kerajaan Mataram pada tahun 613-1645.
Salah satu cara yang ditempuh untuk menyatukannya adalah dengan cara menggabungkan kalender Islam/Hijriah dengan Kalender Hindu/Saka. Perhitungan tanggal di dalam Kalender Jawa masih menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran bulan seperti halnya yang didasari dalam penanggalan Hijriah, namun untuk angka tahun masih menggunakan penanggalan Kalender Saka. Sehingga bulan 1 Suro dalam Kalender Jawa diterima sebagai awal tahun kalender Jawa tapi untuk tahunnya tidak dimulai dari 1, melainkan dari tahun 1555 berdasarkan pada tahun penanggalan Saka.
Hingga pada akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengeluarkan dekrit yang mewajibkan penggunaan sistem penanggalan Jawa di seluruh kawasan kerajaan, yang mana sistem penanggalan ini adalah gabungan dari sistem penanggalan Hijriah dan sistem penanggalan Saka. Karena hal inilah beliau mendapat gelar Wali Radja Mataram dari para ulama. Hal ini karena jasanya dalam menyebarkan ajaran Islam tanpa harus menghapus tradisi Jawa.
Peringatan Malam Satu Suro ini masih banyak dirayakan dengan menggelar ritual-ritual tertentu. Seperti halnya di Surakarta yang mengarak Kebo Bule Kyai Slamet. Sedangkan di Yogjakarta ada tradisi Mubeng Benteng. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengelilingi benteng Keraton dengan mengarak pusaka kerajaan yang dilakukan tanpa bersuara sedikitpun.
<
No comments:
Post a Comment