Ketika Layanan Prostitusi Sememi Surabaya Kembali Menggeliat Kembali
Kabar Surabaya - Minggu malam (5/10/2025) udara Benowo terasa lembab, seiring gemerlap lampu warung remang yang berjejer di sepanjang Jalan Sememi. Di antara sorot cahaya temaram itu, langkah seorang pria tampak mantap menembus kerumunan. Dialah Imam Syafi’i, anggota DPRD Kota Surabaya. Namun malam itu, bukan sekadar kunjungan biasa.
Tatapan matanya tajam, nada suaranya meninggi. Beberapa kali terdengar bentakan saat ia berbicara dengan sejumlah wanita dan pria yang ditemuinya di pinggir jalan. “Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya tegas, menahan emosi yang tampak hampir meledak.
Apa yang ia temukan malam itu membuat darahnya mendidih. Kawasan yang dikenal sebagai eks lokalisasi Moroseneng ternyata masih beroperasi—hidup, terang-terangan, tanpa ada tanda-tanda ketertiban yang dijanjikan pemerintah. Padahal, Moroseneng sudah lama diumumkan tutup.
“Buktinya, praktik prostitusi di sini masih berjalan. Saya curiga ada main mata antara pemilik wisma dan aparat setempat.”
Di lapangan, Imam bahkan sempat ditawari “layanan khusus”—dua kali kencan seharga Rp200 ribu. “Itu bukti nyata. Tidak ada penutupan, hanya formalitas di atas kertas,” ujarnya kesal.
/div>
“Fasilitas-fasilitas itu tidak berfungsi. Pamornya kalah dengan rumah bordil di sekitar,” sindir Imam, yang dulu dikenal sebagai jurnalis lapangan.
Menurutnya, eks bangunan wisma yang sudah diambil alih pemerintah seharusnya bisa disulap menjadi ruang produktif bagi warga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: deretan bangunan kusam, jendela terbuka setengah, suasana sunyi seperti rumah hantu.
Bagi Imam, ini bukan sekadar isu moral. Ia menyebut kembalinya prostitusi di Moroseneng sebagai alarm sosial bagi keamanan dan citra Surabaya yang selama ini berbangga sebagai kota bebas lokalisasi.
“Ini bukan hanya soal akhlak, tapi soal kegagalan sistemik. Pemkot harusnya malu. Jangan sibuk pencitraan sementara masalah begini dibiarkan,” kritiknya tajam.
Ia pun mendesak Wali Kota Eri Cahyadi turun tangan langsung.
“Kasatpol PP, lurah, camat—semua jangan berpura-pura tidak tahu. Kalau masih dibiarkan, wali kota harus berani copot mereka,” ujar politisi Komisi D itu dengan nada tinggi.
Imam berjanji membawa temuannya ke rapat resmi DPRD Surabaya. Baginya, Moroseneng adalah cermin dari janji yang tak ditepati—janji penutupan total yang kini berubah menjadi kebangkitan diam-diam.
“Janji itu harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Bukan sekadar spanduk yang pudar di pinggir jalan,” tutupnya.
Malam di Sememi kembali sunyi. Tapi bagi warga sekitar, dan bagi Surabaya, pertanyaan besar masih menggantung:
Apakah Moroseneng benar-benar mati, atau hanya berpindah rupa di balik gelap kota?

No comments:
Post a Comment