6 Ritual Khusus yang Sering Dilakukan Pada Malam Satu Suro - Kabar Surabaya

Terbaru

Friday, July 29, 2022

6 Ritual Khusus yang Sering Dilakukan Pada Malam Satu Suro

Ritual Khusus yang Sering Dilakukan Pada Malam Satu Suro


Kabar Surabaya - Satu Suro adalah hari pertama pada  kalender Jawa di bulan Suro. Berdasarkan sejarah, Malam Satu Suro ini bersamaan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah yang diterbitkan oleh Sultan Agung. Kemudian pada tahun 931 H atau 1443 tahun jawa baru, yakni pada zaman Pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri II telah melakukan penyesuaian antara sistem Kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa. 



Akibat penyesuaian tersebut, Malam Satu Suro ini mulai masuk setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu. Hal ini dikarenan pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya. Banyak masyarakat Jawa yang kemudian menganggap Malam Satu Suro ini sebagai Malam Keramat, bila jatuh pada jumat legi.

 

Banyak juga yang menganggap bahwa Malam 1 Suro selalu dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis. Namun sejatinyanya ada banyak latar belakang sejarah peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya bagi penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi kuat dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu. Bagi sebagian masyarakat Jawa, pada malam satu suro mereka dilarang untuk melakukan perjalanan kecuali untuk berdoa atau melakukan ibadah lain.


Bagi masyarakat yang terus memelihara teguh tradisi, ada beberapa kegiatan yang biasa dilakukan saat Malam Satu Suro, yaitu :

1. Siraman Malam Satu Suro. 

Secara pribadi, banyak masyarakat Jawa yang melakukan Mandi Besar dengan menggunakan air yang dicampur dengan kembang setaman. Prosesi ini sebagai bentuk “sembah raga” dengan tujuan untuk menyucikan raga. Hal ini juga sebagai pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura, antara lain dilakukan beberapa hal seperti menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.

Mandi besar ini dilakukan dengan cara, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa adalah PITU, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Bisa juga 11 kali (11 dalam bahasa Jawa adalah SEWELAS, yang berarti doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa adalah  pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).

Mandi besar ini lebih bagus bila dilakukan tidak di bawah atap rumah, jadi langsung “beratap langit”. Hal ini agar kita secara langsung bisa menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta. 


2. Tapa Bisu Menjaga Ucapan

Tirakat juga merupakan hal yang selalu dilakukan oleh meeka yang meresapi Malam Satu Suro. Tirakat ini berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar hanya mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Suro, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang terucap akan rawan terwujud. Sehingga ucapan buruk ini akan dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain jika tidak benar-benar dijaga.


3. Lebih Menggiatkan Ziarah.

Pada bulan Sura masyarakat Jawa akan melakukan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit bagi generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya.


4. Menyiapkan Sesaji Bunga Setaman
 

Sesaji bunga setaman ini diletakkan dalam wadah berisi air bening dan Ditempatkan di dalam rumah. Ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan ddengan Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga tersebut memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalamnya. 

 

5. Cuci Barang Pusaka.

Tradisi yang paling dikenal dalam Malam Satu Suro adalah merawat atau melestarikan warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka ini memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka juga merupakan buah hasil dari karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. 

 

6. Larung Sesaji.

Larung sesaji juga kegiatan yang paling dikenal dalam peringatan Malam Satu Suro. Kegiatan ini merupakan ritual sedekah alam. Hasil bumi atau ragam bahan ritual tersebut disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini merupakan hal yang paling riskan dianggap musrik. Ini bisa terjadi bila masyarakat hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad